Bagaimana?

Menyatulah wajahmu dengan sinar purnama. Menyeka hangat barisan tanya berpeluh dalam akal. Bulan penuh mengisi tajam lensa kacamata. Sembari tangannya menuliskan berbagai rasa keingintahuan. Purnama baginya, adalah salah satu tanda kebesaran Pencipta Semesta. Pergantiannya dari tsabit ke tsabit, menyita tiap tatap perhatian manusia.
Bagaimana bintang berada di sisinya tiap waktu? Menambah sempurna penghayatan pemikiran kebesaranNya.

Tidak, sang pemikir pun, tak hanya melihat melalui yg dimata indah. Namun badai pun memberinya satu pengajaran. Ia melihat dari dua sisi yang berbeda.


Begitulah ia,
Ya kau,
Bukankah kau memandang sesuatu dari banyak sisi kan? Kadang kau tampakkan satu yg berbeda dr yg kau hayati. Paradoks.
Pikirmu tajam mendasar. Menguak tanya dan jawab pada setiap dialektika. Romantisme dengan buku, menjadi satu tak terpisahkan dari gambaranmu. Tentu, pemahaman secara menyeluruh akan ilmu, membawamu pada kekuatan Iman yg hakiki. Bukankah begitu? Kuharap begitu.

Yang kutakutkan,
Bukan hanya kau, namun juga aku,
Kita terjerembab pada kecintaan logika, dan menghiraukan akal. Logika dan akal berbeda bukan?
Hati menjadi satu hal perlu dalam pemikiran menggunakan akal. Aku takut, pondasi kita terkikis seiring masa. Jangan. Bukankah kita begitu memerlukan pondasi?
Pun tak bisa menjaga surga ditelapak kaki ibu, tapi malah lebih sibuk memikirkan si tulang rusuk. Memikirkan merah mudanya anak muda, yang digandrungi dengan kebutaan tak jelas. Lalu membuatmu lebih jauh dari Tuhan, dari bakti orangtua, dari berfikir, dari perenungan atas kebesaranNya. Itu hal yg sulit bukan untuk dilawan si anak muda? Apalagi di tengah Gazwul Fikr sekarang ini.

Aku bertanya,
Bagaimana kau mengokohkan pondasi, membuka jendela dunia, menjadi manusia, dan merawat surga di telapak kaki?
Bagaimana, puan ini benar bertanya, anak muda ditengah risau, bagaimana?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banyak cerita banyak warna

Rekomendasi Novel terkait Perempuan

Jangkrik